Site icon Blog Danakini

Mata Uang Rusia Menguat Di Tengah Konflik, Mengapa Bisa?

Mata Uang Rusia Menguat

Sumber: https://unsplash.com/photos/J5PI9q02Lbk

Konflik antara Rusia dan Ukraina yang sudah berlangsung sejak Februari 2022 masih berlangsung hingga saat ini. Meskipun di tengah ketegangan dan sanksi yang dihadapi oleh Rusia, tetapi mata uang Rusia menguat di tengah konflik. Bahkan posisi Rubel di tahun ini menjadi posisi tertingginya selama 5 tahun terakhir. Pada minggu terakhir di bulan mei ini Rubel naik 9% lebih tinggi dibandingkan mata uang Euro dan lebih kuat 2.8% dibandingkan dolar Amerika Serikat. 

Serangan Rusia terhadap Ukraina banyak mengundang reaksi dari negara lain yang mengecam tindakan tersebut, terutama banyak orang mengecam keputusan dari Presiden Vladimir Putin. Banyak sanksi ekonomi juga dijatuhkan terhadap negara tersebut yang bertujuan untuk melumpuhkan Rusia secara ekonomi. Banyak brand-brand besar seperti Coca-Cola, H&M, McDonald, dan lainnya yang secara resmi hengkang dari negara tersebut. 

Tidak hanya itu, dari sektor keuangan, setidaknya 7 bank dan institusi Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.

Selain itu, negara-negara sekutu juga bergerak cepat untuk membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri. Melansir dari Forbes, cadangan devisa Rusia saat ini sebesar US$ 643 miliar, yang sebagian besar ditempatkan di bank sentral AS, Eropa dan China dengan estimasi sekitar US$ 492 miliar.

Lalu mengapa mata uang Rusia menguat ketika banyak negara yang justru menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap negara dengan wilayah terbesar di dunia tersebut? Sanksi ekonomi yang bertujuan untuk melumpuhkan negara tersebut seakan tidak berdampak sama sekali. Seperti terlihat dari beberapa liputan di negara tersebut setelah banyak sanksi dijatuhkan, kehidupan sehari-hari di negara tersebut tidak jauh berubah.

Senjata Rahasia Rusia: Minyak dan Gas (Migas)

Rusia merupakan salah satu negara dengan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia. Negara-negara dari Eropa memiliki ketergantungan tersendiri terhadap impor minyak asal Rusia. Mengutip data Eurostat, Rusia merupakan negara asal impor produk energi terbesar bagi Uni Eropa. Dalam lima tahun terakhir, 33% produk energi di Uni Eropa diimpor dari Rusia. 

Sumber: Katadata

Meskipun dalam kurun waktu terakhir jumlah impor energi yang dilakukan Uni Eropa terhadap Rusia menurun, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara Eropa masih banyak bergantung dengan Rusia dalam sektor energi.

Melihat hal ini, salah satu strategi yang dilakukan oleh Rusia adalah mengubah cara pembayaran bagi negara-negara yang ingin mengimpor energi dari Rusia. Mulai tanggal 1 April 2022, Presiden Vladimir Putin mewajibkan pembayaran minyak, gas, dan energi menggunakan mata uang Rusia, Rubel. Terlebih lagi, jika tidak mengikuti aturan terbaru tersebut kontrak akan segera dihentikan .

Hal ini dinilai sebagai faktor terbesar yang memengaruhi kenaikan harga Rubel terhadap mata uang lainnya seperti Dollar dan Euro. Namun, selain itu, aksi bank sentral Rusia membeli harga emas seharga 5000 Rubel per gram juga dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat kenaikan harga mata uang Rusia tersebut.

Rusia Sebagai Salah Satu Economy Power House

Negara-negara kubu barat mulai dari Amerika Serikat hingga Singapura banyak menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Mereka juga mengincar banyak konglomerat-konglomerat Rusia, serta menyita aset Rusia yang berada di luar negeri. Meskipun banyak sanksi dan aksi yang dijatuhkan dan dilakukan, tetapi Rusia seakan tidak merasakan dampak secara berkepanjangan. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa Rusia merupakan salah satu negara adidaya dan menjadi salah satu ekonomi dunia. Melansir dari Katadata, Rusia merupakan salah satu negara dengan produk domestik bruto (PDB) di atas US$ 1 triliun. Berdasarkan data Bank Dunia (World Bank), PDB Rusia sebesar US$ 1,48 triliun atau setara Rp 20,92 kuadriliun pada 2020.

Hal ini membuat strategi barat yang ingin melumpuhkan Rusia secara ekonomi juga sulit dilakukan. Berbeda dengan negara-negara kecil yang bergantung secara ekonomi dengan negara-negara barat, pengaruh Rusia dalam pasar internasional jauh lebih besar dan memiliki perannya sendiri dalam ekonomi dunia. Faktor ini juga yang membuat Rusia dapat bertahan dari serangan ekonomi yang dilancarkan oleh negara-negara barat, bahkan mata uang Rusia menguat cukup tinggi. 

Sumber: Katadata

Mata Uang Rusia Menguat Bisa Jadi Petaka

Penguatan mata uang ini sekilas merupakan kabar baik bagi negara bekas anggota Uni Soviet tersebut. Namun, nyatanya peningkatan tajam ini juga dapat menjadi malapetaka bagi Rusia. Melansir dari CNBC Indonesia, bank sentral Rusia memangkas suku bunga 2 bulan beruntun hingga menjadi 14%, sebab rubel menguat tajam dan inflasi diperkirakan akan melandai. Rubel yang terlalu kuat justru membuat eksportir akan kesulitan menjual produknya, begitu juga pendapatan Rusia akan terancam seret.

“Semakin kuat nilai tukar maka defisit anggaran akan semakin besar. Penguatan itu akan mempersulit para eksportir, menaikkan biaya dan mengurangi pendapatan,” kata Evgeny Kogan, profesor di Higher School of Economic di Moskow, sebagaimana dilansir Bloomberg.

Risiko yang dihadapi Rusia tersebut membuat pemerintah Rusia dikatakan berencana melonggarkan kebijakan capital control. Eksportir yang sebelumnya diwajibkan mengkonversi 80% valuta asingnya diperkirakan akan diturunkan menjadi 50%, menurut sumber yang dikutip Bloomberg. Kebijakan tersebut dikatakan paling cepat akan berlaku di pekan ini, dan rubel diperkirakan akan melemah setelah kebijakan tersebut mulai dijalankan. Tentunya hanya waktu yang bisa membuktikan bagaimana perkembangan ekonomi Rusia setelah ini. Seluruh orang juga berharap semoga konflik antar Rusia dan Ukraina dapat segera selesai. 

Dapatkan aplikasi Danakini melalui Apps Store dan Play Store.

Exit mobile version